Hakim Mahkamah Konstitusi atau hakim MK telah memutuskan untuk mengabulkan permohonan uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu mengenai batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Pengujian itu diajukan oleh mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru yang mengaku sebagai pengagum Gibran, Wali Kota Solo.
Dilansir dari koran.tempo.co, sejumlah hakim MK mengungkapkan kejanggalan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Hakim MK tersebut mengungkap kejanggalan saat membacakan pendapat berbeda atau dissenting opinion dalam sidang. Empat hakim memiliki pendapat berbeda, yaitu Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief hidayat, dan Suhartoyo.
Saldi Isra
Hakim MK Saldi Isra mengaku ada keanehan dalam putusan perkara tersebut. Hal tersebut ia sampaikan saat membacakan dissenting opinion. Ia merasa bingung membacakan pendapat berbedanya karena selama menjabat hakim konstitusi sejak 11 April 2017, ia mengaku baru kali ini mengalami peristiwa aneh yang luar biasa.
Saldi menambahkan bahwa keanehan itu dipicu atas adanya perbedaan putusan perkara 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan perkara 90/PUU-XXI/2023. Dalam ketiga putusan sebelumnya, lanjut Saldi, para hakim MK menyebut gugatan pemohon adalah ranah pembentuk undang-undang. Pembentukan undang-undang adalah ranah Dewan Perwakilan Rakyat. “Apakah mahkamah pernah berubah pendirian? Pernah tetapi tidak terjadi secepat ini dalam hitungan hari,” kata Saldi.
Menurutnya, mahkamah seharusnya menerapkan judicial restraint dengan menahan diri untuk tidak memasuki kewenangan pembentuk undang-undang dalam menentukan persyaratan batas usia minimum bagi capres dan cawapres. Ia juga menyayangkan sifat opened legal policy DPR justru diambil alih dan dijadikan beban politik MK untuk memutusnya.
Saldi menerangkan bahwa permohonan menguji batas minimal capres dan cawapres sudah belasan yang masuk ke MK. Permohonan tersebut masuk dalam gelombang pertama perkara nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023. Sebelumnya, dalam rapat permusyawaratan hakim untuk memutus perkara gelombang pertama pada 19 September 2023, Ketua MK Anwar Usman tidak ikut memutus perkara. “Hasilnya, enam hakim konstitusi sepakat menolak dan memposisikan Pasal 169 huruf q UU 7 tahun 2017 sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang,” kata Saldi.
Namun, dalam perkara gelombang kedua yaitu perkara 90/PUU-XXI/2023 dan 91/PUU-XXI/2023, Anwar Usman ikut memutus perkara dan turut mengubah posisi para hakim yang dalam gelombang pertama menolak menjadi mengabulkan.
Saldi juga melihat kejanggalan lain. Para pemohon no 90 dan 91 sempat menarik permohonannya. Namun, sehari setelahnya, para pemohon urung membatalkan penarikan berkas gugatan. Saldi melihat adanya misteri penarikan dan pembatalan penarikan yang hanya berselang satu hari.
Arief Hidayat
Selain Saldi, hakim konstitusi Arief Hidayat juga memaparkan kejanggalannya saat membacakan dissenting opinion atas putusan perkara nomor 90. Kejanggalan pertama dapat dilihat dari penjadwalan sidang. Penjadwalan itu terkesan lama dan ditunda hingga dua bulan. “Meskipun tidak melanggar hukum acara, penundaan perkara berpotensi menunda keadilan dan pada akhirnya akan meniadakan keadilan itu sendiri,” terang Arief dalam sidang Senin 16 Oktober 2023.
Kejanggalan kedua yang diungkap Arief adalah pada putusan perkara gelombang pertama, para hakim MK sepakat menolak, tetapi pada gelombang kedua yang dihadiri Anwar Usman, ia ikut memutus perkara dan mengabulkan perkara nomor 90 sebagian.. Padahal, pada gelombang pertama Anwar menolak ikut memutus karena khawatir terjadi konflik kepentingan. “Sungguh tindakan yang menurut saya di luar nalar yang bisa diterima oleh penalaran yang wajar,” kata Arief dalam sidang 16 Oktober 2023.
Namun, setelah ditanya langsung oleh Arief, alasan Anwar tidak ikut rapat putusan gelombang pertama karena sakit, bukan karena konflik kepentingan. Arief juga mengatakan bahwa komposisi tiga hakim mengabulkan sebagian, dua orang hakim mengabulkan sebagian dengan alasan berbeda, dan empat lainnya menyatakan berbeda pendapat, belum pernah terjadi sebelumnya.
Kejanggalan ketiga putusan hakim MK menurut Arief adalah perkara nomor 90 dan 91 sempat dicabut pemohon pada 29 September 2023, tetapi pada 30 September 2023 membatalkan penarikan.
Aliansi Desak Dewan Etik dan Mahkamah Kehormatan MK Periksa Paman Gibran
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), soal batas usia minimal capres-cawapres 40 tahun atau pernah jadi kepala daerah, menjadi sorotan.
Advokat dan pakar hukum yang tergabung dalam Advokat dan Ahli Hukum Pendukung Demokrasi (Aliansi) mendesak Dewan Etik dan Mahkamah Kehormatan MK untuk memeriksa Ketua MK Anwar Usman.
Aliansi menilai putusan MK tersebut berkaitan erat dengan Gibran Rakabuming Raka, yang tak lain adalah keponakan dari Anwar Usman.
Anggota Aliansi Mangatta Toding Allo mengatakan pemeriksaan itu dilakukan atas dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim itu, khususnya terkait prinsip independensi, ketidakberpihakan, dan integritas.
Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 15 UU MK dan Lampiran Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.
“Mendesak agar Dewan Etik dan Mahkamah Kehormatan MK untuk melaksanakan tugas pengawasan dengan memeriksa dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi Anwar Usman,” kata Mangatta.
Dia menyampaikan pemeriksaan diperlukan guna memastikan terjaganya integritas, marwah, serta martabat Mahkamah Konstitusi.
“Dengan putusan MK itu, telah membuka peluang bagi keponakan hakim konstitusi Anwar Usman menjadi bakal capres atau cawapres pada Pilpres 2024,” ucap Mangatta.
Paman Gibran Diduga Hambat Pengesahan Majelis Kehormatan MK
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menduga ada campur tangan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman yang membuat Majelis Kehormatan MK tak kunjung disahkan.
“Faktornya masih di tangan ketua MK. Dia enggan menandatangani nama-nama yang sudah disepakati sebagai MKMK,” kata Feri dalam keterangan tertulis pada Rabu (18/10).
Feri mengungkap hal itu untuk merespons putusan MK yang melapangkan jalan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka bin Jokowi menjadi capres atau cawapres di Pilpres 2024.
Alumnus Fakultas Hukum Unand yang kini aktif menulis tentang hukum dan politik itu menyebut putusan MK nan kontroversial tersebut resmi menjadikan MK sebagai Mahkamah Keluarga Jokowi.
Setelah memperistri adik Jokowi, Ketua MK Anwar Usman merupakan paman Gibran.
Feri menduga Anwar Usman berupaya menyelamatkan dirinya dari sidang etik dengan memolorkan pembentukkan MKMK.
“Dia berharap melalui cara itu lolos dari jeratan sanksi etik hingga pensiun. Mungkin ini cara dia menyelamatkan diri sendiri,” kata Feri.
Menurutnya, hakim MK seharusnya siap menerima kritik termasuk dilaporkan secara etik kepada MKMK atas dugaan pelanggaran etik.
“Namun, lantaran MKMK tak kunjung disahkan, berbagai laporan menyasar hakim MK pun menguap. Itu menghindari berbagai pelaporan pelanggaran etik hakim MK kandas,” kata Feri.
Dari dugaannya itu, Feri berencana melaporkan Anwar, meski dia belum menyebut kapan dan ke mana laporan ditujukan.
“Tunggu saja, ya. Teman-teman masyarakat sipil sedang mempertimbangkan,” tutur Feri.
Kabar angin, MK telah membentuk majelis kehormatan yang konon dipimpin oleh ketua pertama MK Jimly Asshiddiqie.
Namun, pihak-pihak terkait belum ada yang mengonfirmasi kabar terebut.
Anwar Usman Bakal Dilaporkan ke Dewan Kehormatan
MAHKAMAH Konstitusi (MK) dibanjiri kritik seiring putusan yang membuat norma baru dalam pengujian UU perihal syarat usia calon presiden dan wakil presiden.
Bahkan, kritik juga datang dari Yusril Ihza Mahendra yang notabene bagian dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang ditengarai kuat akan mengusung Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres mendampingi Prabowo Subianto.
Yusril yang berstatus ketua umum Partai Bulan Bintang mengaku tidak bisa melepaskan jati diri sebagai akademisi. Menurut dia, diktum putusan MK sangat problematik. Sebab, diktumnya menyatakan umur 40 tahun itu bertentangan dengan UUD 1945 kecuali dimaknai pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah.
Jika ditelisik lebih dalam, hanya tiga hakim yang bersepakat dengan putusan itu. Dalam pandangannya, concurring opinion yang disampaikan hakim Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic masuk dalam dissenting opinion.
Sebab, yang disetujui dua hakim itu adalah minimal berpengalaman sebagai gubernur. “Jadi, sebenarnya ada enam hakim tidak setuju dengan putusan itu dan hanya tiga hakim yang setuju,” ujarnya dalam diskusi di Jakarta kemarin (17/10).
Dalam kacamatanya, MK telah melakukan kesalahan fatal. “Saya kira ini bisa ada penyelundupan hukum di dalamnya, bisa ada kesalahan, tidak nyambung dalam putusannya,” tegasnya.
Sebagai anggota KIM, Yusril akan menyampaikan pendapat itu kepada Prabowo Subianto. Namun, jika Prabowo tetap memilih Gibran, dia siap mengikuti. Setidaknya, dia sudah mengingatkan.
Wakil Ketua Komisi II Yanuar Prihatin juga menilai putusan MK terkesan sangat dipaksakan. Seperti mencari celah untuk mengakomodasi cawapres tertentu. “Kepentingan politik terasa lebih kuat ketimbang supremasi hukum,” ucapnya.
MK memang tetap mempertahankan usia 40 tahun bagi capres dan cawapres sebagaimana diatur UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Namun, dengan menambahkan alternatif sebagai norma baru, menjadikan posisi MK bukan lagi penjaga konstitusi, melainkan sudah tergelincir dalam kompetisi politik.
“Pernah menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah adalah norma baru yang tidak pernah diatur dalam UU Pemilu,” tegasnya sembari menyebut MK telah melampaui kewenangannya.
Kendati demikian, kata dia, putusan MK bersifat final dan mengikat. Tidak ada pilihan, harus dilaksanakan. Hanya, putusan itu memerlukan revisi UU Pemilu untuk menjadi pedoman KPU dalam pendaftaran capres/cawapres.
Lantaran waktu sudah sangat mepet, mengingat pendaftaran capres-cawapres dibuka pada 19–25 Oktober 2023, mekanisme perubahan UU Pemilu kemungkinan ditempuh melalui perppu.
Terus Monitor
Sementara itu, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh menyatakan akan terus memonitor pemahaman atau respons masyarakat terhadap putusan MK tersebut.
“Sebagai koridor hukum, kami hormati (putusan MK itu),” katanya di sela pelantikan DPW Nasdem Banten di Kota Tangerang kemarin. Pihaknya akan fokus pada pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar yang dijadwalkan mendaftar ke KPU besok (19/10).
Terpisah, Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) menduga ada persekongkolan untuk melanggengkan kekuasaan dari putusan MK tersebut. MK juga dinilai telah terjebak dalam pusaran politik yang sangat mencederai demokrasi dan konstitusi.
“Hal ini sarat akan persekongkolan jahat antara lembaga eksekutif dan yudikatif demi mewujudkan politik dinasti,” ungkap Koordinator Media BEM SI 2023 Ragner Angga MHJ.
Para mahasiswa akan turun ke jalan.
Diperkirakan, bakal ada 2 ribu mahasiswa dan elemen masyarakat yang akan demo di depan Istana Negara pada Jumat (20/10).
“Kami dari aliansi mahasiswa mengajak kalangan mahasiswa dan masyarakat dari semua elemen untuk melakukan aksi di Istana Negara yang bertujuan mengevaluasi kinerja 9 tahun Jokowi,” ungkapnya.
Sementara itu, putusan MK terkait usia capres-cawapres dianggap mengandung pelanggaran pidana dan kode etik. Menurut Koordinator Persatuan Advokat Nusantara Petrus Selestinus, setidaknya terdapat tiga dugaan pelanggaran, yakni conflict of interest, nepotisme, dan manipulasi putusan.
Menurut Petrus, pihaknya pernah meminta Ketua MK Anwar Usman untuk mengundurkan diri dari tujuh perkara uji materi batas usia capres-cawapres. Sebab, ditengarai itu berkaitan dengan Gibran sehingga terdapat konflik kepentingan.
Sesuai Pasal 17 Ayat 5 UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa seorang hakim wajib mengundurkan diri bila berkepentingan langsung dan tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa.
Dalam ayat selanjutnya, jika ada pelanggaran tersebut, putusan dianggap tidak sah dan hakim dikenai sanksi administratif atau dipidana sesuai perundang-undangan.
Selain itu, putusan MK itu menunjukkan adanya manipulasi putusan. Sebab, terdapat tiga kubu hakim. Empat hakim menolak, dua hakim memaknai berpengalaman sebagai gubernur serta menyatakan perubahan batas usia wewenang DPR, dan tiga hakim setuju.
“Seharusnya putusan MK tidak bisa menerima karena hakim terbelah dalam tiga kubu,” jelasnya. Namun, Anwar Usman justru memasukkan dua hakim menjadi setuju.
Sehingga, ketua MK diduga melakukan pelanggaran masif dan terstruktur. “Karena itu, kami akan laporkan ke Dewan Kehormatan MK dan Bareskrim untuk pidananya,” tuturnya.
- Mukjizat Bagiku, Betharia Sonata Nangis Haru Rinoa Cabut Laporan Atas Leon Dozan,Ikhlas Memaafkan - 02/12/2023
- Tipu Muslihat Israel: Minta Warga Khan Younis Mengungsi ke Rafah,Sesampai Sana Mereka Dibombardir - 02/12/2023
- Usai Marah ke Agus Rahardjo, Jokowi Tanya ke Pratikno: Sprindik Itu Apa Toh? - 02/12/2023