Gerakan 30 September 1965 (G30S) adalah sebuah peristiwa yang mengguncang sejarah Indonesia.
Salah satu tokoh yang terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan G30S adalah Sjam Kamaruzaman, seorang anggota PKI yang menjabat sebagai Kepala Biro Khusus.
Biro Khusus adalah sebuah organisasi rahasia yang bertugas mengurusi, memelihara, dan merekrut anggota partai di tubuh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) secara ilegal.
Skam Kamaruzaman juga merupakan teman dekat dari D.N. Aidit, Ketua Komite Sentral PKI, yang menjadi otak politik di balik gerakan tersebut.
Syam Kamaruzaman lahir pada tahun 1927 di Cirebon, Jawa Barat. Ia berasal dari keluarga pedagang kaya yang memiliki usaha genting, bengkel, dan batu kapur. Ia menempuh pendidikan di HIS, MULO, dan AMS-B di Bandung.
Sjam Kamaruzaman dikenal sebagai sosok yang cerdas, berani, dan berwibawa. Ia memiliki kemampuan berbahasa asing seperti Inggris, Belanda, Jerman, dan Rusia.
Ia juga mahir dalam hal militer, intelijen, dan komunikasi. Ia sering melakukan perjalanan ke luar negeri untuk menjalin hubungan dengan partai-partai komunis lainnya, terutama Uni Soviet dan Tiongkok5.
Sebagai Kepala Biro Khusus, Sjam Kamaruzaman bertanggung jawab untuk menyusun daftar orang-orang yang menjadi target penculikan dan pembunuhan dalam G30S.
Ia menyusun kekuatan dari pihak militer yang pro terhadap PKI, seperti Kolonel Untung bin Syamsuri, Mayor Sujono Humardani, Letkol Latief Hendraningrat, dan Mayor Heru Atmodjo.
Ia juga berperan dalam membentuk Dewan Revolusi sebagai badan tertinggi yang akan menggantikan pemerintahan Soekarno setelah G30S berhasil.
Namun, ada juga dugaan bahwa Syam Kamaruzaman bukanlah anggota PKI sejati, melainkan seorang agen rahasia militer atau bahkan CIA yang disusupkan ke dalam tubuh partai untuk mengacaukan rencana-rencana mereka. Hal ini didasarkan pada beberapa fakta, antara lain:
Sjam Kamaruzaman tidak pernah membeberkan identitasnya sebagai anggota PKI kepada keluarga dan lingkungan sekitarnya. Ia hanya dikenal sebagai seorang pengusaha sukses yang tidak terlibat dalam politik.
Sjam tidak pernah ditangkap atau diburu oleh aparat keamanan selama masa Orde Lama. Ia bahkan sempat menjadi anggota DPR-GR pada tahun 1960-an.
Dia baru tertangkap pada tahun 1967 di Cimahi, Jawa Barat, setelah ia diketahui oleh seorang mantan anggota Biro Khusus yang telah ditangkap sebelumnya. Ia kemudian dibawa ke Jakarta untuk diinterogasi oleh Tim Pemeriksa Pusat yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto.
Sjam Kamaruzaman diperlakukan secara istimewa oleh aparat militer selama masa tahanan. Ia menempati sel yang besar dan diizinkan memiliki uang satu tas penuh untuk memenuhi segala kebutuhannya.
Ia juga bebas keluar masuk sel dan berhubungan baik dengan para penyidik. Sjam menjadi sumber informasi utama bagi aparat militer tentang G30S dan PKI. Ia memberikan keterangan-keterangan yang mengungkap nama-nama, peran, dan motif dari para pelaku G30S, termasuk D.N. Aidit, yang kemudian dibunuh di Lubang Buaya.
Sjam menyebutkan nama-nama anggota PKI yang berada di tubuh ABRI, yang kemudian ditangkap atau dibunuh.
Syam Kamaruzaman tidak pernah diadili secara terbuka atau dihukum mati seperti para pelaku G30S lainnya. Ia hanya menjalani pengadilan tertutup di Mahkamah Militer Luar Biasa pada tahun 1986, dan dieksekusi secara diam-diam di Pulau Buru, Maluku.
Dari fakta-fakta di atas, ada yang berpendapat bahwa Sjam Kamaruzaman adalah seorang intel militer yang disusupkan ke dalam PKI untuk mengawasi dan mengendalikan gerakan mereka.
Ada juga yang berpendapat bahwa ia adalah seorang agen CIA yang bertugas untuk memicu konflik antara PKI dan ABRI, sehingga memudahkan Amerika Serikat untuk mengintervensi Indonesia. Namun, tidak ada bukti kuat yang dapat membuktikan atau membantah dugaan-dugaan ini.
Sjam Kamaruzaman tetap menjadi sosok misterius yang menyimpan banyak rahasia di balik gerakan G30S PKI.
Nasib Tragis Sarwo Edhie Wibowo Usai Mengantarkan Soeharto Naik Takhta
Sejarah mencatat, Kolonel Sarwo Edhie Wibowo adalah “King Maker” dalam pergantian kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Mayjen Soeharto.
Sarwo Edhie, selaku komandan RPKAD kala itu, tanpa kompromi sukses menghancurkan PKI usai G30S meletus.
Semua pendukung PKI, baik dari kalangan sipil maupun militer dikejarnya tanpa ampun.
Jutaan nyawa yang terkait dengan PKI melayang. Banyak media menjuluki Sarwo Edhie sebagai Jenderal Pembantai.
Tanpa gerakan sigap Sarwo Edhie dan pilihannya untuk tegas berdiri di sisi Soeharto, hampir tidak mungkin Soeharto sukses menggulingkan Soekarno dan membangun Orde Baru.
Nah di sinilah kemudian keanehan terjadi. Meskipun Sarwo Edhie adalah salah satu pendukung setia Soeharto, ia tidak mendapat imbalan yang sepadan. Sebaliknya, ia justru mengalami nasib dan karier yang tragis setelah Soeharto menjadi presiden.
Kariernya di dunia militer dibunuh perlahan.
Pada tahun 1967, Sarwo Edhie dipindahkan dari jabatan komandan RPKAD ke jabatan Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) II/Bukit Barisan di Sumatera Utara. Jabatan ini dianggap sebagai penurunan pangkat dan pengasingan bagi Sarwo Edhie, yang sebelumnya mengepalai pasukan elit RPKAD.
Pada tahun 1968, Sarwo Edhie dipindahkan lagi ke jabatan Pangdam XVII/Cenderawasih di Papua. Jabatan ini juga dianggap sebagai penurunan pangkat dan pengasingan bagi Sarwo Edhie, yang harus berhadapan dengan gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Pada tahun 1970, Sarwo Edhie dipindahkan lagi ke jabatan Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan. Jabatan ini dianggap sebagai pensiun dini bagi Sarwo Edhie, yang harus meninggalkan dunia militer yang ia cintai.
Pada tahun 1973, Sarwo Edhie ditunjuk sebagai Gubernur Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI). Jabatan ini dianggap sebagai jabatan terakhir bagi Sarwo Edhie, yang tidak memiliki peluang untuk naik pangkat lagi.
Kenapa Bisa Begitu?
Sejumlah pengamat politik meyakini bahwa Soeharto takut kepada Sarwo Edhie. Ia tidak mau ada “matahari kembar” di pemerintahannya. Maklum saja, kala itu nama Sarwo Edhie begitu viral dan harum karena kesuksesannya mengganyang PKI.
Menurut sejarawan Salim Said dalam buku Menyaksikan 30 tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016), nasib Sarwo senahas dua “king maker” (sosok yang membuat orang lain jadi raja) lainnya, yakni Letnan Jenderal Kemal Idris dan Mayor Jenderal HR Dharsono. “Cerita yang beredar waktu itu adalah bahwa dalam penyingkiran Sarwo, Ali Moertopo memainkan peranan besar,” tulis Salim.
Salim bercerita bahwa ia mendengar dari Sarwo yang baru pulang dari menjenguk Soeharto di Cendana. Sarwo, yang pernah menjadi Panglima Kodam Bukit Barisan (1967-68), dirumorkan berkeinginan untuk menggulingkan Soeharto.
Sarwo menanyakan hal ini kepada Soeharto saat bertemu dengannya, tapi Soeharto hanya tersenyum dan tidak menjawab. Salim mengungkapkan bahwa sumber tuduhan itu adalah Ali Moertopo, seorang perwira intelijen yang dekat dengan Soeharto.
Selain itu, Soeharto juga tidak menyukai Sarwo karena alasan mistis. Menurut Soeharto, Sarwo memiliki aura kembar matahari yang menandakan ambisi untuk menjadi penguasa dan mengancam posisinya. Hal ini membuat karir Sarwo di militer terhambat.
Belum lagi, pada awal-awal penumpasan PKI, Soeharto pernah sangat marah dan curiga kepada Sarwo. Pasalnya, Sarwo sempat bertemu dengan Presiden Soekarno di Istana Bogor tanpa sepengetahuan Soeharto.
Bapak Orde Baru ini curiga, Sarwo Edhie punya rencana tersembunyi di belakangnya.
Sementara itu , Salim juga menulis dua versi kisah tentang mengapa Soeharto tidak menyukai Sarwo.
Versi pertama, berdasarkan keterangan istri Sarwo, Sunarti: “Pak Harto tidak suka bapak (Sarwo) karena pernah ke Bogor. Pak Harto menganggap Anda sebagai orang yang serakah.”
Versi kedua, berdasarkan cerita Daud Sinjal, mantan General Manager Harian Sinar Harapan. Sarwo itu sahabat Yan, tapi Soeharto benci Yan, kata Daud.
Said menambahkan, Sarwo tidak segera memberitahu Soeharto ketika Yan meninggal. Malah, ia menghadap Menteri Pertahanan Abdul Haris Nasution.
- Mukjizat Bagiku, Betharia Sonata Nangis Haru Rinoa Cabut Laporan Atas Leon Dozan,Ikhlas Memaafkan - 02/12/2023
- Tipu Muslihat Israel: Minta Warga Khan Younis Mengungsi ke Rafah,Sesampai Sana Mereka Dibombardir - 02/12/2023
- Usai Marah ke Agus Rahardjo, Jokowi Tanya ke Pratikno: Sprindik Itu Apa Toh? - 02/12/2023