Hukum dan Syarat Hadhanah (Hak Pengasuhan Anak) dalam Syariat Islam



loading…

Hadhanah dijelaskan dalam buku-buku fiqih Islam bab munakahat (hukum pernikahan ) yang meliputi nikah, talak, rujuk, nafkah, dan semua turunan soal pernikahan. Rumah tangga Islam perlu mengetahui tentang hukum hadhanah agar tetap terjaga syariat Allah dan rasul-Nya. Penjelasan hadhanah sangat diperlukan ketika terjadi perceraian orang tua (termasuk orang tua meninggal dunia), sebab tanpa hadhanah anak bisa menjadi terlantar yang berarti kehilangan hak-haknya.

Bebarapa ulama bahkan mewajibkan agar para orang tua mengetahui tentang hadhanah demi masa depan anak akibat terjadi talak (meninggal) orang tua. Hukum wajib di sini maksudnya yaitu wajib kifâyah. Hadhanah ini hanya dilaksanakan ketika pasangan suami istri yang telah terjadi talak (juga karena cerai meninggal) dan memiliki anak yang belum cukup umur untuk berpisah dari ibunya.

Sedangkan arti hadhanah secara umum adalah sebagai perlindungan atau pengasuhan anak dan membiayainya hingga mencapai usia baligh. Secara syariat, hadhanah adalah mengasuh anak kecil (belum mumayyiz/belum bisa mengatur dan merawat dirinya sendiri). Dalam buku fiqh Minhajul Muslim yang ditulis ulama kelahiran Al-Jaza’ir, Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaziri (1921-2018), disebutkan bahwa hadhanah wajib diberikan kepada anak yang masih kecil sebagai perlindungan, penjagaan diri, agama, dan kebutuhan mereka.

Hukum asal hadhanah adalah wajib bagi kedua orang tua. Dan jika keduanya telah meninggal dunia, maka hadhanah wajib dikerjakan sanak kerabat orang tua atau sanak kerabat terdekat berikutnya. Jika tidak ada sama sekali kerabat, maka wajib dikerjakan oleh pemerintah atau jamaah dari kaum muslimin. Jika terjadi perpisahan antara suami-istri karena talak atau meninggal, maka yang paling berhak meng-hadhanah anak-anak adalah ibunya, jika ia belum nenikah lagi.

Baca Juga : Hukum Perceraian dalam Islam, Syarat Sah, Aturan, dan Dalil

Hal ini ditegaskan oleh sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi wa allam yang diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib dengan menukil dari ayahnya, dari kakeknya , bahwa ada seorang wanita yang mengadu kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :

“Wahai Rasûlullâh! Anak ini dulu pernah menjadikan perutku sebagai wadahnya, payudaraku sebagai sumber minumnya dan kamarku sebagai rumahnya. Kini ayahnya telah menceraikanku dan ingin merampasnya dariku.” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada wanita ini, “Kamu lebih berhak terhadapnya selama kamu belum menikah lagi“. (HR Abu Daud, Ahmad, dan al-Hakim).

Imam Ibnul Mundzir dalam Al-Ijma’ menyebutkan kalangan ahli fiqih telah menyebutkan sejumlah syarat hadhanah. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka hak asuh anak hilang. Syarat hadhanah menurut ulama adalah :

1. Berakal sehat.
2. Tidak fasik dan seorang yang amanah terhadap syariat Allah.
3. Bertanggungjawab dalam mengurus urusan dan mendidik anak yang diasuh.
4. Tidak mempunyai penyakit atau tidak punya riwayat penyakit berat yang dapat memudharatkan anak dalam pengasuhannya.
5. Tinggal menetap di rumah/daerah anak yang diasuh.
6. Ibnul Mundzi menulis : wanita yang akan mengasuh disyaratkan tidak memiliki suami yang bukan kerabat dari sang anak. Apabila pengasuh tersebut menikah dengan kerabat sang anak maka tidak hak hadhânah (kepengasuhan)nya tidak gugur. Seorang ibu akan gugur hak kepengasuhannya terhadap anaknya apabila dia dinikahi lelaki lainnya.

Tujuan disyariatkannya hadhanah ialah untuk melindungi kehidupan anak kecil, membina badannya, membina akalnya, dan membina spiritualnya. Oleh karena itu, hak hadhanah juga akan otomatis gugur dari siapa saja yang tidak dapat mewujudkan tujuan itu. Hak hadhanah gugur jika terjadi hal-hal :

1. Jika hadhinah (pemegang hak hadhanah) gila atau tidak berakal.
2. Jika hadhinah menderita penyakit menular.
3. Jika hadhinah dinilai tidak bertanggungjawab terhadap pribadi dan agama terhadap si anak, bertempat tinggal jauh atau saling berjauhan dengan si anak.
4. Jika hadhinah tersebut beragam di luar Islam (tidak mengikuti syariat Allah dan Rasul-Nya), karena dikhawatirkan bisa merusak aqidah si anak.

Baca Juga : Hak-hak Istri yang Wajib Ditunaikan Suami

Wallahu A’lam

(wid)



Source link

Julia L. Bellamy

Leave a Comment

A note to our visitors

This website has updated its privacy policy in compliance with changes to European Union data protection law, for all members globally. We’ve also updated our Privacy Policy to give you more information about your rights and responsibilities with respect to your privacy and personal information. Please read this to review the updates about which cookies we use and what information we collect on our site. By continuing to use this site, you are agreeing to our updated privacy policy.